Rabu, 23 November 2011

Sekilas Historiografi Pesisir Banten


“jendela kereta selalu berubah”. Mungkin kiasan tersebutlah yang membawa imajiku dalam perjalanan aktivitasku menuju Rangkasbitung dengan kereta Rangkas Jaya di sore hari, sehingga berharap kepada kemungkinan-kemungkinan realisme yang bakal disajikan melalui bingkai kaca jendela kereta Rangkas Jaya Tanah Abang-Rangkasbitung. Tentu saja, pengalaman literatur akan turut serta dalam imajiku, Yang sedikit mengganggu bayanganku adalah, apakah narasi sepanjang perjalanan Tanah Abang-Rangkasbitung akan sama. Karena sejarah kolonialisme yang akan melintas pada bingkai kaca kereta menuju Rangkasbitung, tidak kalah eksploitatifnya.
Kereta diperhentian terakhirnya stasiun Rangkasbitung pada jam 7 malam. Stasiun Rangkasbitung sudah pasti warisan kolonial dengan bahan bangunan yang masih terbuat dari kayu, dan model atap bangunan yang masih menyisakan warisannya. Di stasiun Rangkasbitung, suasana pedagang begitu ramai, mungkin konsepnya sama di mana saja di Indonesia, bahwa terminal dan stasiun adalah sasaran empuk bagi pola konsumsi pembeli yang sedang dalam perjalanan.
Perjalanan dari Tanah Abang menuju Rangkasbitung bukan hanya menyisakan jarak waktu perjalanan kereta api Rangkas Jaya, namun juga menyisakan jarak-jarak historis tentang imaji-imaji kolonial yang pernah kita dapatkan dari membaca Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Rasanya Jarak kuantitatif yang cukup jauh di seputar tahun 1860-an hingga tidak menandaskan sebuah jarak kualitatif yang cukup jauh pula. Kaca jendela kereta Rangkas Jaya, justru memperkuat bingkai tentang imaji kisah-kisah Saidjah sebagai sejarah entitas masyarakat Lebak dan seputarannya.

....... the power of Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar