Selasa, 27 November 2012

INSTAL WINDOWS 7 DENGAN EasyBCD

Langsung aja caranya adalah sebagai berikut: 1. Siapkan flash disk minimal 4GB. 2. Siapkan juga DVD Windows 7 (DVD-nya, bukan ISO-nya). 3. Format flash disk dengan tipe FAT32. 4. Download dan install EasyBCD filenya cuma 1.3MB () dan jalankan EasyBCD 5. Pada tampilan depan EasyBCD, pada menu sebelah kiri, pilih Bootloader Setup 6. Pada menu Bootloader Setup, pada frame Create Bootable External Media, pastikan flashdisk Anda sudah dicolokkan, kemudian pilih flash disk Anda. Lalu klik tombol Install BCD. Tunggu sampai selesai. Setelah selesai, flash disk Anda telah terformat untuk dapat melakukan boot jika boot diarahkan ke flash disk Anda tersebut. Namun, setelah melakukan boot tidak akan terjadi apa-apa. Sebab tidak ada yg dilakukan kemudian. Nah, oleh karena itu, langkah selanjutnya adalah copy semua file dan direktori(folder) dari DVD Windows 7 yang telah Anda siapkan ke flash disk tersebut. Setelah selesai copy file, flash disk Anda siap digunakan sebagai pengganti DVD Windows. Silakan masuk ke BIOS komputer yang akan diinstall ulang, set boot pertama ke USB Flash Disk. Ikuti langkah-langkah selanjutnya. Semoga berhasil.

MENGHILANGKAN FILE buawiiz.exe dan buwiiz.scr

Virus yang tidak saya ketaui namanya yang cukup membuat resat para pengguna komputer, khususnya bagi pengguna yang awam sangat dibuat resah oleh virus yang satu ini. Virus yang menamakan dirinya file buawiiz.exe dan buwiiz.scr Ciri penginfeksian virus ini adalah, virus akan menyebarkan shortcut, kemudian meng-hidden folder-folder yang berada di flash disk. Jadi seolah-olah folder hilang. Padahal aslinya tidak hilang, hanya di-hidden saja oleh si virus. Kemudian, jika salah 1 short-cut dieksekusi / diklik (baik sengaja ataupun tidak), maka secara otomatis virus akan menginfeksi PC/Laptop tempat kita mengeksekusi shortcut tersebut. Secara umum tentang virus ini sebagai berikut: • Membuat shortcut otomatis pada flash disk jika flash disk dicolokkan ke PC yg terinkeksi virus. • Akan meng-hidden (menyembunyikan) folder-folder yang ada pada flash disk. Untuk menghilangkannya, sebenarnya cukup mudah, dan standard. Yakni, pertama dan utama, kita cari sumber virusnya dulu. Selama sumber virusnya masih ngendon / berada di PC dan posisinya aktif, maka selama itu pula virus akan tetap hidup dan senantiasa menginfeksi setiap flash disk yang dicolokkan ke PC. Adapun lokasi default virus tersebut adalah di C:\User\[Nama-PC]\buawiiz.exe . Misal nama PC kita Administrator, maka lokasinya berada di C:\User\Administrator\buawiiz.exe. Untuk menghilangkannya, sederhana. Yakni cukup delete aja file tersebut. Namun itu tidak mudah juga. Ada kalanya file tersebut TIDAK MAU DIDELETE , karena posisinya masih aktif. Oleh karena itu, bisa dicoba dengan di-rename. Misalbuawiiz.exe, rename menjadi buahmad.exe_ok. Restart, dan delete file hasil rename ini. Tambahan juga, untuk mencek apakah PC Anda masih terinfeksi virus atau tidak, Anda dapat menggunakan tool yang gratis dan cukup ampuh untuk mendeteksi virus-virus yang mendiami PC Anda, baik secara terang-terangan, maupun secara diam-diam. Tool tersebut adalah RemoveIT Pro.

Sabtu, 11 Februari 2012

SPIRIT CINTA TANAH AIR DALAM LAGU “SIANG PELATARAN SD SEBUAH KAMPUNG” KARYA IWAN FALLS


Sentuhan angin waktu siang
Kibarkan satu kain bendera usang

Di halaman sekolah dasar
Di tengah hikmat anak desa nyanyikan lagu bangsa
Bergemalah


Ku nikmat tiap lantunan lagu itu, sebuah lagu yang mendobrak kekuasaan penguasa karya seorang maestro Iwan Falls. Ingatanku kembali ke masa-masa anak kecil, masa yang penuh dengan kepolosan dan ketidaktuan akan sesuatu tentang tanah air dan bangsa.. namun kembali aku di ingatkan dengan suguhan lagu sosial tentang keadaan sekitar kita.. tentang anak sekolah yang tak bersepatu, tentang angin siang, tentang bendera yang kusam dan tentang harapan anak bangsa yang tak pernah mati.

Hai pernah kah engkau melihatnya? ato mungkin mendengarnya? Saya rasa anda semua hanya bicara “ya ato tidak” itu saja. Lain dengan mereka, mereka yang ada dalam lagu seorang Iwan Falls. Sebuah keadaan dimana tak pernah kita tau sebelumnya, keadaan yang dibalut dengan harmonika cinta dan lagu..

Dua tempat, dua dunia yang berbeda… mungkin kiasan itu yang bisa disejajarkan dalam lagu diatas. Dua tempat antara kita dan mereka, antara keadaan dan keinginan.. dua dunia yang berbeda antara mendengarkan dan mereka yang menjalani.. begitu kontras pemandangan tentang lagu diatas, di awali kalimat “sentuhan angin siang, kibarkan satu kain bendera usang” tragis memang, tapi itu adanya. Pedahal dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan yang dikatakan bahwa “bendera adalah lambang Negara kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan Negara”

Aduhai celaka nasib negeri jika tak pernah kita tau keadaannya ternyata seperti ini, huffffttt…. Namun apapun itu yang menarik dari lagu diatas adalah kesungguhan anak-anak sebagai tonggak bangsa yang tak pernah mati yang cinta NKRI..

Cape uyyy ngetik terus, besok di lanjut klo ga lagi pusing, sepertinya lagu diatas sangat cocok dengan soundtrack film “Laskar Pelangi” karena alurnya sama-sama mirip


………………… Nolsatoe... - dksh

Rabu, 08 Februari 2012

MULTATULI / E. DOUWES DEKKER, SEBUAH CATATAN LEBAK - BANTEN YANG BANYAK DILUPAKAN

Novel ini ditulis oleh seseorang bernama Multatuli—berarti Akulah yang Menderita—nama pena E. Douwes Dekker. Kisahnya tentang kondisi Hindia Belanda dimasa gencar-gencarnya Tanam Paksa setelah kas Belanda terkuras akibat perang Jawa, yang membuat geger anak manusia di negeri Kincir Angin sana; bagai palu godam yang dipukulkan dengan keras pada kepala nilai-nilai kemanusiaan yang dianut bangsa Eropa.

TATAP matanya tajam. Bola matanya yang kecokelatan itu bila memandang serasa menusuk lurus. Rambutnya halus disisir ke belakang, dibelah pinggir di sisi kiri. Kemerahan. Kumisnya tebal. Kadang dibiarkannya panjang, menggapai bibir. Dahi lebar, mengesankan seorang yang berpikir. Sosok itulah Douwes Dekker yang terkenal itu. Dialah yang memakai nama samaran Multatuli yang oleh Bung Karno ucapannya bahwa negeri kepulauan ini adalah zamrud khatulistiwa, sering disebut-sebut dalam pidato yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di negeri yang bukan negerinya (Jalan Multatuli di Rangkasbitung, Banten).

Dan yang karyanya dibaca dan dibicarakan oleh jutaan manusia hingga saat ini. Belanda belum lama bercokol kembali di Indonesia, ketika itu. Si Inggris Raffles baru saja hengkang. Di tanah Minang, pemberontakan Paderi menjelang pecah. Kala itulah di Korsjespoortsteeg, Amsterdam, Belanda, satu keluarga sederhana dikarunia kebahagiaan. Tepatnya pada 2 Maret 1820, lahirlah si bayi Douwes Dekker, di rumah yang kini dijadikan Museum Multatuli. Tak ada yang istimewa pada masa kecil Dekker. Gerard Termorshuizen, yang menulis kata pengantar dalam Max Havelaar, hanya menyebutkan, "Ia banyak menimbulkan kesukaran karena wataknya yang gelisah dan sukar."

Ayah Dekker seorang kapten kapal dagang. Tentunya ia jarang di rumah. Keluarga ini, keluarga Protestan, kemudian mendorong Dekker menjadi menjadi pendeta. Karena itu, di usia 12 tahun ia dimasukkan sekolah Latin, untuk menerima pelajaran-pelajaran agama Baptis. Sekolah itu tak diselesaikannya. Douwes Dekker urung jadi pendeta. Ia malah bekerja sebagai pramuniaga perusahaan tekstil sebagai buruh termuda, 15 tahun. Tak lama. Tiga tahun berikutnya ia memilih mengadu nasib di tanah jajahan Jawa. Pada 23 September 1838, kapal yang dikapteni ayahnya dan dikemudikan oleh abangnya membawanya hingga merapat di pelabuhan Batavia. Tak lama ia menganggur.

Tahun berikutnya Dekker sudah menerima gaji sebagai klerk di sebuah kantor keuangan di Batavia. Anak muda itu lalu meniti karier sebagai pegawai negeri. Pada usia 22 tahun, ia dipindahkan ke Natal, Sumatera Barat, sebagai kontrolir (pejabat Belanda yang mengawasi kepemimpinan pribumi di suatu kawedanan). Inilah saat pertama kali baginya bersinggungan langsung dengan rakyat yang dijajah bangsanya. Dan dengan pekerjaannya, ia segera terbentur masalah. Atasannya di Padang, Michiels, menilainya ceroboh. Dekker dianggap melakukan kesalahan dalam administrasi keuangan. Ia pun ditarik ke Padang, diperbantukan kepada residen Padang Hulu. Dasar nasib, ia terseok lagi.

Menyusul pertengkarannya dengan Michiels yang tak kunjung reda, ia diskors, dan karena itu tak terima gaji. Sembilan bulan hal itu ditanggungnya. Sampai ia bisa meninggalkan Padang menuju Betawi. Dekker mencoba membangun kembali kariernya. Dari Betawi ia lasak ke daerah-daerah. Ia pindah ke Karawang, lalu Purworejo, dan akhirnya ke Manado. Dan tampaknya ia berhasil. Di umur 31 tahun ia sudah dipercaya menjadi asisten residen di Ambon. Setelah 14 tahun bermukim di negeri tropis ini, Douwes Dekker mengambil perlop, bersama keluarganya ia pergi ke Belanda. Di sinilah tabiatnya yang "sukar" muncul kembali. Dan menyulitkan keluarganya.

Si asisten residen itu segera menghambur-hamburkan uang tabungannya. Ia pergi ke tempat-tempat judi hingga ke Jerman. Di Wiesbaden, juga Hamburg, ia menjadi anggota perkumpulan kebatinan "Rozekruisers". Mungkin untuk mencegah tabiatnya makin tak keruan ia dan keluarganya berangkat kembali ke Betawi. Pada tahun yang sama dengan saat wafatnya Diponegoro, 1855, Douwes Dekker tiba kembali di Betawi. Untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist. Van Twist rupanya menaruh kepercayaan besar pada dia. Ia memberinya jabatan sebagai asisten residen Lebak, Banten.

Pada 21 Januari 1856 keluarga Douwes Dekker sampai di Lebak. Daerah inilah yang kemudian melambungkan dan menyebabkan nama Douwes Dekker menjadi tokoh dunia, masuk dalam sejarah -- setidaknya sejarah Indonesia dan Belanda. Baru sebulan di Banten, ia sudah bikin perkara. Asisten residen baru itu mengadukan bupati Lebak, Adipati Kartanatanagara, kepada residen Banten, Brest van Kempen. Bupati itu, dan menantunya yang menjadi Demang Parangkujang, dituduhnya telah memeras dan merampas hak milik rakyat. Ia lalu mengusulkan agar dua orang itu dibebastugaskan untuk sementara, sambil dilakukan penyelidikan padanya. Douwes Dekker memang bertugas mengawasi bupati, yang memimpin daerah itu. Residen terkejut. Ia segera datang ke Rangkasbitung.

Sebagai mantan asisten residen di Lebak, dengan kepala, telinga dan matanya sendiri, Multatuli mampu menangkap kondisi penduduk pribumi yang diperas habis-habisan oleh tangan-tangan penjajahan; dua tangan sekaligus: kekuasaan Belanda dan para penguasa feodal. Penjajahan yang menimpa Hindia Belanda memang unik. Feodalisme tidak dihancurkan oleh bangsa penjajah, melainkan dimanfaatkan untuk memeras habis penduduk pribumi. Hak penguasa feodal ini dipulihkan secara resmi ketika Gubernur Jendral Van de Boch berkuasa. Dengan legitimasi tersebut feodalisme semakin dikokohkan.
Ketika masih menjabat sebagai asisten residen di Lebak, Multatuli melihat tangan kedua—penguasa feodal—yakni Bupati Lebak yang didukung tangan pertama—kolonialisme Belanda—telah melakukan pemerasan terhadap rakyat. Tindakan ini, menurutnya, bertentangan dengan moral Eropa yang menempatkan manusia sebagaimana inti slogan Revolusi Prancis yang agung: persamaan, kebebasan dan persaudaraan. Maka, diadukanlah tingkah polah sang bupati kepada atasan. Namun, sang atasan tidak menggubris, sebaliknya justru memihak sang bupati, bahkan menonaktifkan Multatuli dari jabatan sebagai asisten residen. Dengan kekecewaan luar biasa, Multatuli kemudian pulang ke negeri Belanda, dan melahirkan novel Max Havelaar di sana.
Multatuli menggunakan bahasa sastra untuk menumpahkan rasa kecewanya sekaligus melakukan perlawanan. Karya yang ditulis selama masa-masa sulit itu menguak tabir nasib tragis sebidang bumi yang dijajah agar diketahui masyarakat Belanda dan Eropa. Salah satu bagian dalam Max Havelaar yang sering dikupas hingga saat ini adalah Saija dan Adinda, yang dengan jernih menggambarkan kondisi rakyat Hindia Belanda pada masa itu:
“Waktu kerbau ini dirampas kepala distrik Parang Kudjang, ia sangat berdukatjita, berkata-kata ia tak suka, sampai berhari-hari lamaja. Karena, waktu meluku sudah tiba, dan alangkah menakutkan kalau sawah tak tergarap pada musimnja, sampai nanti musim menyebar benihpun lewat berlalu, dan achirnja tiada sebatang padipun bakal ditunai buat disimpan didalam lumbung.
Maka diambil olehnja sebilah keris pusaka peninggalan ajahja. Tidak begitu indah memang, tapi ada pengikat-pengikat perak melingkari sarungnja, dan selembar perak terhias pada udjungnja. Didjualnja keris pusaka itu pada seorang Tionghoa jang tinggal diibukota distrik, dan kembali ia pulang membawa dua puluh enpat rupiah, dan dengannja ia beli kerbau baru.
Saidja telah meningkat sembilan tahun, dan Adinda enam tahun mendjelang kerbau baru ajah Saidja dirampas lagi oleh kepala distrik Prang Kudjang.
Ajah Saidja jang sangat miskin, kini mendjual sepasang sangkutan klambu dari perak kepada seorang Tionghoa; sangkutan klambu pusaka peninggalan orang tua istrinja, delapan belas rupiah. Dan dengan itu dibelinja kerbau baru.”
Kondisi penduduk pribumi begitu miskin. Harta mereka dirampas penjajah, kemerdekaan pun tiada akibat belenggu kolonialisme yang mengikat kuat kebebasan mereka. Keluarga Saija tak mampu lagi membeli kerbau baru karena harta sudah dirampok tangan-tangan kolonial. Tak ada alat untuk membajak; tanah pun terlantar. Artinya, kemiskinan semakin merantai. Penderitaan semakin menujam.

dari berbagai sumber...

Kamis, 05 Januari 2012

Menapaki Pemerintahan Banten Dari Masa Ke Masa

Banten yang dikenal sekarang merupakan representasi dari berbagai peristiwa sejarah. Dari seluruh peristiwa masa lalu itu, beberapa aspek masih relevan untuk dicatat sekarang. Satu di antaranya mengenai sejarah pemerintahan yang pernah tumbuh dan berkembang dari sekurang-kurangnya abad V sampai menjelang akhir abad XX.
Dengan mengacu pada urutan waktu, tahapan perkembangan organisasi masyarakat itu dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Awal Pemerintahan di Banten (abad IV – IX)

Pada abad I - VI Masehi, Banten telah dijadikan daerah taklukan Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara. Namun belum ada bukti bahwa masyarakat Banten telah mengadopsi sistem pemerintahan model India.
Di tengah kevakuman pemerintahan antara abad I sampai dengan abad VI, kearifan budaya lokal Banten terus berevolusi. Struktur masyarakat masih sederhana dengan berpedoman pada prinsip-prinsip hidup egaliter yang mengutamakan kegotong-royongan dalam berbagai aktivitas kehidupan.
Organisasi politik mengacu pada prinsip primus inter pares (pemerintahan yang dipegang oleh tetua masyarakat atau kaolotan), yang mendapat mandat masyarakat dan legitimasi religius-magis.

2. Pemerintahan Kerajaan Banten Girang (Abad X – XVI)

Pada abad VII - IX Masehi, Banten menjadi daerah perebutan kekuatan politik asing, antara Dinasti Sanjaya dan Sailendra di Jawa Tengah dan Sriwijaya (Sumatra) yang menganggap Banten sebagai titik strategis untuk menguasai jalur perniagaan di Selat Sunda.
Tetapi pada awal abad X Masehi, komunitas Banten pesisir utara mampu membangun basis pemerintahan berpusat di hulu Cibanten, yang dikenal dengan nama Wahanten Girang (Banten Girang).
Pada komunitas kota, status sosial menguat yang didasarkan pada sistem pelapisan sosial bercorak Hindu.
Basis perekenomian Banten Girang telah menguat pada tanaman lada, yang memiliki pelabuhan laut di muara Cibanten. Banten Girang telah menjadi salah satu negeri pengekspor lada. Hubungan perniagaan dilakukan dengan negeri-negeri seberang lautan seperti Cina dan India.

3. Awal Berdirinya Kesultanan Banten (Abad XVI )

Pada penghujung abad XVI, para penyebar Islam dari Demak dan Cirebon datang sebagai agen pembaharuan. Para elit Islam di bawah pimpinan Sunan Gunung Jati dan puteranya Maulana Hasanuddin, telah melanjutkan otoritas politik Banten Girang, dengan membangun pusat kekuasaan Islam di muara Cibanten.
Berdirinya kesultanan Banten menandai kemerdekaan Banten dari dominasi Kerajaan Pajajaran. Kesultanan Banten mampu menunjukkan kekuatan politik dan ekonomi yang mapan atas seluruh perairan utara dan barat untuk menguasai jalur perniagaan seberang lautan, antara Cina di utara dan India di barat.
Banten praktis telah mengendalikan zona ekonomi maritim utara Jawa dan sekaligus Selat Sunda sejak tahun 1526 sampai 1619.

4. Era Keemasan Banten (Abad XVII)

Komunitas Banten mengalami transisi agama dari Hindu ke Islam, dan berlakunya model kehidupan perkotaan dengan jenis peradaban yang mengacu pada pranata budaya keraton Surasowan sebagai pusat politik, ekonomi, dan sosial keagamaan.
Kota Banten dengan kluster-klusternya menjadi tempat ideal bagi berkembangnya budaya kosmopolitan. Kehidupan masyarakat kota ditentukan oleh hierarki sosial sebagai suatu keharusan dalam sistem pemerintahan monarki Islam.
Dalam bidang ekonomi, Banten telah mencapai era kejayaan. Perdagangan lada menjadi tumpuan utama politik ekonomi, yang telah menarik minat berdagang dari bangsa-bangsa Eropa, Cina, India dan Nusantara untuk melakukan transaksi ekonomi.
Era keemasan Banten berlangsung antara 1619 – 1682 yang dipercepat oleh realisasi kebijakan perdagangan berorientasi lintas-benua. Otoritas Banten mampu memenangi persaingan ekonomi politik antara Banten, Mataram dan VOC sebagai tiga kekuatan seimbang di Laut Jawa. Esensi kemajuan ekonomi ditentukan oleh ekspor besar-besaran lada, impor sejumlah besar berbagai jenis wadah keramik dan produk manufaktur.
Dalam bidang politik, struktur pemerintahan menunjukkan model paling lengkap yang membagi kekuasaan ke dalam dua kelompok kepentingan, yaitu kaum birokrat yang berbasiskan keluarga raja untuk menempati pos-pos administrasi internal dan kaum teknokrat yang diberikan kewenangan melaksanakan kebijakan ekonomi dengan menempati pos-pos administrasi eksternal. Hubungan dengan pedagang asing dan hubungan diplomatik dengan Inggris, Denmark dan Perancis dipromosikan sebagai alternatif politik ekonomi kesultanan.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa ini, puncak peradaban Banten ditampakkan oleh kokohnya benteng kota, kemegahan keraton, keagungan masjid. Istana Tirtayasa yang dibangun di antara kanal-kanal antara Ciujung dan sungai Pontang telah memainkan peran penting bagi berjalannya pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan pengajaran Islam, di bawah bayang-bayang ancaman Batavia sejak 1612.

5. Banten di bawah tekanan Batavia (1682-1813)

Usai peperangan heroik antara Banten dan VOC pada tahun 1682, Banten harus berhadapan dengan perubahan radikal dalam sistem politik ekonomi, dari status independen ke dependensi pada kekuatan ekonomi Belanda berpusat di Batavia. Situasi ini berlangsung antara 1682-1811, yang dengan kekuatan persenjataan modern, hampir seluruh pesisir Banten berada di bawah kendali VOC.
Pada masa ini, Banten menjadi kurang penting dibandingkan dengan Batavia. Kesultanan Banten selama hampir dua abad telah kehilangan kedaulatan atas wilayah yang demikian luas. Pusat pemerintahan Banten mengalami perubahan ruang kota, bangunan istana, arsitektur rumah, dan juga kelangkaan aktivitas politik dan ekonomi di ibukota Banten. Tetapi pedalaman Banten menjadi alternatif penguatan budaya dan resistensi politik ekonomi.
Pada masa ini, banyak elit Banten mengalihkan kehidupan pada pendalaman ilmu agama dengan menerapkan berbagai cabang tarekat di pelosok-pelosok desa yang sulit dijangkau dan diawasi penguasa-penguasa VOC.
Dari pelosok-pelosok desa itulah, kekuatan Islam menapak untuk membangun mass solidarity menghadapi “musuh bersama”, yaitu kekuatan Belanda yang dipandang “kafir”. Islam telah menjadi stimulan kebangkitan masyarakat Banten untuk membentuk ideologi-kultural Banten.

6. Banten di bawah rejim kolonial (1813-1945)

Jatuhnya Banten (1811-1832) adalah implikasi perang Napoleon Bonaparte yang menempatkan Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal berkedudukan di Batavia. Kehancuran total Banten dimotivasi oleh politik kolonialisme bangsa-bangsa Eropa atas bangsa-bangsa Asia, untuk menguasai sumberdaya perekonomian yang strategis bagi bermulanya era industri di Eropa Barat.
Belanda membangun Residentie van Bantam yang berpusat di Serang. Gambaran fisik kehidupan kota kolonial tampak disituasikan oleh pertumbuhan kota Serang, dengan berbagai aktivitas urban sama sekali baru, lengkap dengan bangunan-bangunan pemerintahan, keagamaan dan bangunan publik seputar alun-alun kota Serang.
Tekanan politik, sosial dan budaya pemerintah kolonial yang melampaui batas telah menimbulkan resistensi tinggi orang Banten. Kesewenangan Eropa yang menimpa semua lapisan masyarakat ditanggapi dengan berbagai pemberontakan sporadis.


7. Banten di era kemerdekaan (1945-2000)

Situasi politik Banten seolah “tak bertuan”, tidak masuk dalam satuan wilayah Provinsi Pasundan Raya, juga tidak mendapat pengakuan sebagai bagian dari tanah Hindia Belanda, sehingga selama beberapa bulan (1947-1948) Banten mengalami kekosongan pemerintahan.
Banten menjadi salah satu medan pergulatan ideologi politik yang dicirikan oleh kemunculan pemimpin sentralistik yang belum mampu mengeluarkan Banten dari keterbelakangan pembangunan, ketertinggalan pendidikan, buruknya kondisi kesehatan dan kelangkaan lapangan kerja dalam satuan wilayah administratif Provinsi Jawa Barat.
Sejumlah kompleks industri memang dibangun di pesisir utara Banten, tetapi lebih disebabkan karena konsekuensi geografis, bahwa Banten dipandang kawasan strategis dari Pusat sebagai jalur ekonomi sedang tumbuh antara Sumatra dan ibukota Jakarta. Sementara pedalaman Banten masih tampak dalam tiga kondisi: keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.
Aspek demografi yang kurang mendapat perhatian, kerawanan sosial, menurunnya pendapatan, tingkat pendidikan yang rendah, perguruan tinggi tidak mencukupi menjadi indikator ketertinggalan pembangunan.

Senin, 02 Januari 2012

Historiografi tentang masa kejayaan Banten (Keraton Kaibon)






Kesultanan besar dan berpengerahuh ini berjaya dalam rentang waktu cukup lama, dari tahun 1525-1813. Selain yang tercatat dalam buku sejarah, sisa-sisa kejayaan Banten dapat pula dilihat secara fisik di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Serang, Provinsi Banten. Lokasinya sekitar 10 kilometer sebelah utara pusat kota Serang.

Situs Banten Lama memang luar biasa. Berbagai peninggalan di dalamnya mengandung gambaran banyak hal. Reruntuhan dua keraton besar, Surosowan dan Kaibon, menunjukkan tingginya pengaruh, wibawa, dan kemegahan kerajaan itu pada masanya. Selain itu, Mesjid Agung Banten yang hingga kini utuh berdiri, melambangkan suasana batin kerajaan dan masyarakatnya yang religius.

Di tempat itu terdapat kelenteng tertua di Indonesia. Hingga kini tempat ibadah penganut Kong Hu Cu masih digunakan. Hal itu juga menunjukkan toleransi hidup beragama sudah berlangsung sejak abad XVI di Banten. Pelabuhan Karangantu, menyimpan kisah kekuatan maritim dan keberhasilan ekonomi yang dibangun melalui laut. Kontak dagang dengan para saudagar luar negeri terjadi melalui pelabuhan. Persentuhan ini menjadikan Banten sebagai kota internasional. Sekaligus menggoda VOC untuk menjajah wilayah tersebut.

Sejarah juga mencatat, Keraton Surosowan yang dibangun Sultan Hasanuddin (1552-1570) dan dibenteng oleh Sultan Maulana Yusuf (1570-1580) harus mengalami kehancuran, setelah terjadi beberapa kali peperangan pada pemerintahan sultan-sultan berikutnya. Demikian pula dengan Keraton Kaibon (Keibuan) yang didirikan Sultan Syafiudin (1809-1813) untuk ibunya, Ratu Asyiah, dirusak Belanda.

We love Banten,,,