Sabtu, 11 Februari 2012

SPIRIT CINTA TANAH AIR DALAM LAGU “SIANG PELATARAN SD SEBUAH KAMPUNG” KARYA IWAN FALLS


Sentuhan angin waktu siang
Kibarkan satu kain bendera usang

Di halaman sekolah dasar
Di tengah hikmat anak desa nyanyikan lagu bangsa
Bergemalah


Ku nikmat tiap lantunan lagu itu, sebuah lagu yang mendobrak kekuasaan penguasa karya seorang maestro Iwan Falls. Ingatanku kembali ke masa-masa anak kecil, masa yang penuh dengan kepolosan dan ketidaktuan akan sesuatu tentang tanah air dan bangsa.. namun kembali aku di ingatkan dengan suguhan lagu sosial tentang keadaan sekitar kita.. tentang anak sekolah yang tak bersepatu, tentang angin siang, tentang bendera yang kusam dan tentang harapan anak bangsa yang tak pernah mati.

Hai pernah kah engkau melihatnya? ato mungkin mendengarnya? Saya rasa anda semua hanya bicara “ya ato tidak” itu saja. Lain dengan mereka, mereka yang ada dalam lagu seorang Iwan Falls. Sebuah keadaan dimana tak pernah kita tau sebelumnya, keadaan yang dibalut dengan harmonika cinta dan lagu..

Dua tempat, dua dunia yang berbeda… mungkin kiasan itu yang bisa disejajarkan dalam lagu diatas. Dua tempat antara kita dan mereka, antara keadaan dan keinginan.. dua dunia yang berbeda antara mendengarkan dan mereka yang menjalani.. begitu kontras pemandangan tentang lagu diatas, di awali kalimat “sentuhan angin siang, kibarkan satu kain bendera usang” tragis memang, tapi itu adanya. Pedahal dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan yang dikatakan bahwa “bendera adalah lambang Negara kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan Negara”

Aduhai celaka nasib negeri jika tak pernah kita tau keadaannya ternyata seperti ini, huffffttt…. Namun apapun itu yang menarik dari lagu diatas adalah kesungguhan anak-anak sebagai tonggak bangsa yang tak pernah mati yang cinta NKRI..

Cape uyyy ngetik terus, besok di lanjut klo ga lagi pusing, sepertinya lagu diatas sangat cocok dengan soundtrack film “Laskar Pelangi” karena alurnya sama-sama mirip


………………… Nolsatoe... - dksh

Rabu, 08 Februari 2012

MULTATULI / E. DOUWES DEKKER, SEBUAH CATATAN LEBAK - BANTEN YANG BANYAK DILUPAKAN

Novel ini ditulis oleh seseorang bernama Multatuli—berarti Akulah yang Menderita—nama pena E. Douwes Dekker. Kisahnya tentang kondisi Hindia Belanda dimasa gencar-gencarnya Tanam Paksa setelah kas Belanda terkuras akibat perang Jawa, yang membuat geger anak manusia di negeri Kincir Angin sana; bagai palu godam yang dipukulkan dengan keras pada kepala nilai-nilai kemanusiaan yang dianut bangsa Eropa.

TATAP matanya tajam. Bola matanya yang kecokelatan itu bila memandang serasa menusuk lurus. Rambutnya halus disisir ke belakang, dibelah pinggir di sisi kiri. Kemerahan. Kumisnya tebal. Kadang dibiarkannya panjang, menggapai bibir. Dahi lebar, mengesankan seorang yang berpikir. Sosok itulah Douwes Dekker yang terkenal itu. Dialah yang memakai nama samaran Multatuli yang oleh Bung Karno ucapannya bahwa negeri kepulauan ini adalah zamrud khatulistiwa, sering disebut-sebut dalam pidato yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di negeri yang bukan negerinya (Jalan Multatuli di Rangkasbitung, Banten).

Dan yang karyanya dibaca dan dibicarakan oleh jutaan manusia hingga saat ini. Belanda belum lama bercokol kembali di Indonesia, ketika itu. Si Inggris Raffles baru saja hengkang. Di tanah Minang, pemberontakan Paderi menjelang pecah. Kala itulah di Korsjespoortsteeg, Amsterdam, Belanda, satu keluarga sederhana dikarunia kebahagiaan. Tepatnya pada 2 Maret 1820, lahirlah si bayi Douwes Dekker, di rumah yang kini dijadikan Museum Multatuli. Tak ada yang istimewa pada masa kecil Dekker. Gerard Termorshuizen, yang menulis kata pengantar dalam Max Havelaar, hanya menyebutkan, "Ia banyak menimbulkan kesukaran karena wataknya yang gelisah dan sukar."

Ayah Dekker seorang kapten kapal dagang. Tentunya ia jarang di rumah. Keluarga ini, keluarga Protestan, kemudian mendorong Dekker menjadi menjadi pendeta. Karena itu, di usia 12 tahun ia dimasukkan sekolah Latin, untuk menerima pelajaran-pelajaran agama Baptis. Sekolah itu tak diselesaikannya. Douwes Dekker urung jadi pendeta. Ia malah bekerja sebagai pramuniaga perusahaan tekstil sebagai buruh termuda, 15 tahun. Tak lama. Tiga tahun berikutnya ia memilih mengadu nasib di tanah jajahan Jawa. Pada 23 September 1838, kapal yang dikapteni ayahnya dan dikemudikan oleh abangnya membawanya hingga merapat di pelabuhan Batavia. Tak lama ia menganggur.

Tahun berikutnya Dekker sudah menerima gaji sebagai klerk di sebuah kantor keuangan di Batavia. Anak muda itu lalu meniti karier sebagai pegawai negeri. Pada usia 22 tahun, ia dipindahkan ke Natal, Sumatera Barat, sebagai kontrolir (pejabat Belanda yang mengawasi kepemimpinan pribumi di suatu kawedanan). Inilah saat pertama kali baginya bersinggungan langsung dengan rakyat yang dijajah bangsanya. Dan dengan pekerjaannya, ia segera terbentur masalah. Atasannya di Padang, Michiels, menilainya ceroboh. Dekker dianggap melakukan kesalahan dalam administrasi keuangan. Ia pun ditarik ke Padang, diperbantukan kepada residen Padang Hulu. Dasar nasib, ia terseok lagi.

Menyusul pertengkarannya dengan Michiels yang tak kunjung reda, ia diskors, dan karena itu tak terima gaji. Sembilan bulan hal itu ditanggungnya. Sampai ia bisa meninggalkan Padang menuju Betawi. Dekker mencoba membangun kembali kariernya. Dari Betawi ia lasak ke daerah-daerah. Ia pindah ke Karawang, lalu Purworejo, dan akhirnya ke Manado. Dan tampaknya ia berhasil. Di umur 31 tahun ia sudah dipercaya menjadi asisten residen di Ambon. Setelah 14 tahun bermukim di negeri tropis ini, Douwes Dekker mengambil perlop, bersama keluarganya ia pergi ke Belanda. Di sinilah tabiatnya yang "sukar" muncul kembali. Dan menyulitkan keluarganya.

Si asisten residen itu segera menghambur-hamburkan uang tabungannya. Ia pergi ke tempat-tempat judi hingga ke Jerman. Di Wiesbaden, juga Hamburg, ia menjadi anggota perkumpulan kebatinan "Rozekruisers". Mungkin untuk mencegah tabiatnya makin tak keruan ia dan keluarganya berangkat kembali ke Betawi. Pada tahun yang sama dengan saat wafatnya Diponegoro, 1855, Douwes Dekker tiba kembali di Betawi. Untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist. Van Twist rupanya menaruh kepercayaan besar pada dia. Ia memberinya jabatan sebagai asisten residen Lebak, Banten.

Pada 21 Januari 1856 keluarga Douwes Dekker sampai di Lebak. Daerah inilah yang kemudian melambungkan dan menyebabkan nama Douwes Dekker menjadi tokoh dunia, masuk dalam sejarah -- setidaknya sejarah Indonesia dan Belanda. Baru sebulan di Banten, ia sudah bikin perkara. Asisten residen baru itu mengadukan bupati Lebak, Adipati Kartanatanagara, kepada residen Banten, Brest van Kempen. Bupati itu, dan menantunya yang menjadi Demang Parangkujang, dituduhnya telah memeras dan merampas hak milik rakyat. Ia lalu mengusulkan agar dua orang itu dibebastugaskan untuk sementara, sambil dilakukan penyelidikan padanya. Douwes Dekker memang bertugas mengawasi bupati, yang memimpin daerah itu. Residen terkejut. Ia segera datang ke Rangkasbitung.

Sebagai mantan asisten residen di Lebak, dengan kepala, telinga dan matanya sendiri, Multatuli mampu menangkap kondisi penduduk pribumi yang diperas habis-habisan oleh tangan-tangan penjajahan; dua tangan sekaligus: kekuasaan Belanda dan para penguasa feodal. Penjajahan yang menimpa Hindia Belanda memang unik. Feodalisme tidak dihancurkan oleh bangsa penjajah, melainkan dimanfaatkan untuk memeras habis penduduk pribumi. Hak penguasa feodal ini dipulihkan secara resmi ketika Gubernur Jendral Van de Boch berkuasa. Dengan legitimasi tersebut feodalisme semakin dikokohkan.
Ketika masih menjabat sebagai asisten residen di Lebak, Multatuli melihat tangan kedua—penguasa feodal—yakni Bupati Lebak yang didukung tangan pertama—kolonialisme Belanda—telah melakukan pemerasan terhadap rakyat. Tindakan ini, menurutnya, bertentangan dengan moral Eropa yang menempatkan manusia sebagaimana inti slogan Revolusi Prancis yang agung: persamaan, kebebasan dan persaudaraan. Maka, diadukanlah tingkah polah sang bupati kepada atasan. Namun, sang atasan tidak menggubris, sebaliknya justru memihak sang bupati, bahkan menonaktifkan Multatuli dari jabatan sebagai asisten residen. Dengan kekecewaan luar biasa, Multatuli kemudian pulang ke negeri Belanda, dan melahirkan novel Max Havelaar di sana.
Multatuli menggunakan bahasa sastra untuk menumpahkan rasa kecewanya sekaligus melakukan perlawanan. Karya yang ditulis selama masa-masa sulit itu menguak tabir nasib tragis sebidang bumi yang dijajah agar diketahui masyarakat Belanda dan Eropa. Salah satu bagian dalam Max Havelaar yang sering dikupas hingga saat ini adalah Saija dan Adinda, yang dengan jernih menggambarkan kondisi rakyat Hindia Belanda pada masa itu:
“Waktu kerbau ini dirampas kepala distrik Parang Kudjang, ia sangat berdukatjita, berkata-kata ia tak suka, sampai berhari-hari lamaja. Karena, waktu meluku sudah tiba, dan alangkah menakutkan kalau sawah tak tergarap pada musimnja, sampai nanti musim menyebar benihpun lewat berlalu, dan achirnja tiada sebatang padipun bakal ditunai buat disimpan didalam lumbung.
Maka diambil olehnja sebilah keris pusaka peninggalan ajahja. Tidak begitu indah memang, tapi ada pengikat-pengikat perak melingkari sarungnja, dan selembar perak terhias pada udjungnja. Didjualnja keris pusaka itu pada seorang Tionghoa jang tinggal diibukota distrik, dan kembali ia pulang membawa dua puluh enpat rupiah, dan dengannja ia beli kerbau baru.
Saidja telah meningkat sembilan tahun, dan Adinda enam tahun mendjelang kerbau baru ajah Saidja dirampas lagi oleh kepala distrik Prang Kudjang.
Ajah Saidja jang sangat miskin, kini mendjual sepasang sangkutan klambu dari perak kepada seorang Tionghoa; sangkutan klambu pusaka peninggalan orang tua istrinja, delapan belas rupiah. Dan dengan itu dibelinja kerbau baru.”
Kondisi penduduk pribumi begitu miskin. Harta mereka dirampas penjajah, kemerdekaan pun tiada akibat belenggu kolonialisme yang mengikat kuat kebebasan mereka. Keluarga Saija tak mampu lagi membeli kerbau baru karena harta sudah dirampok tangan-tangan kolonial. Tak ada alat untuk membajak; tanah pun terlantar. Artinya, kemiskinan semakin merantai. Penderitaan semakin menujam.

dari berbagai sumber...