Kamis, 05 Januari 2012

Menapaki Pemerintahan Banten Dari Masa Ke Masa

Banten yang dikenal sekarang merupakan representasi dari berbagai peristiwa sejarah. Dari seluruh peristiwa masa lalu itu, beberapa aspek masih relevan untuk dicatat sekarang. Satu di antaranya mengenai sejarah pemerintahan yang pernah tumbuh dan berkembang dari sekurang-kurangnya abad V sampai menjelang akhir abad XX.
Dengan mengacu pada urutan waktu, tahapan perkembangan organisasi masyarakat itu dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Awal Pemerintahan di Banten (abad IV – IX)

Pada abad I - VI Masehi, Banten telah dijadikan daerah taklukan Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara. Namun belum ada bukti bahwa masyarakat Banten telah mengadopsi sistem pemerintahan model India.
Di tengah kevakuman pemerintahan antara abad I sampai dengan abad VI, kearifan budaya lokal Banten terus berevolusi. Struktur masyarakat masih sederhana dengan berpedoman pada prinsip-prinsip hidup egaliter yang mengutamakan kegotong-royongan dalam berbagai aktivitas kehidupan.
Organisasi politik mengacu pada prinsip primus inter pares (pemerintahan yang dipegang oleh tetua masyarakat atau kaolotan), yang mendapat mandat masyarakat dan legitimasi religius-magis.

2. Pemerintahan Kerajaan Banten Girang (Abad X – XVI)

Pada abad VII - IX Masehi, Banten menjadi daerah perebutan kekuatan politik asing, antara Dinasti Sanjaya dan Sailendra di Jawa Tengah dan Sriwijaya (Sumatra) yang menganggap Banten sebagai titik strategis untuk menguasai jalur perniagaan di Selat Sunda.
Tetapi pada awal abad X Masehi, komunitas Banten pesisir utara mampu membangun basis pemerintahan berpusat di hulu Cibanten, yang dikenal dengan nama Wahanten Girang (Banten Girang).
Pada komunitas kota, status sosial menguat yang didasarkan pada sistem pelapisan sosial bercorak Hindu.
Basis perekenomian Banten Girang telah menguat pada tanaman lada, yang memiliki pelabuhan laut di muara Cibanten. Banten Girang telah menjadi salah satu negeri pengekspor lada. Hubungan perniagaan dilakukan dengan negeri-negeri seberang lautan seperti Cina dan India.

3. Awal Berdirinya Kesultanan Banten (Abad XVI )

Pada penghujung abad XVI, para penyebar Islam dari Demak dan Cirebon datang sebagai agen pembaharuan. Para elit Islam di bawah pimpinan Sunan Gunung Jati dan puteranya Maulana Hasanuddin, telah melanjutkan otoritas politik Banten Girang, dengan membangun pusat kekuasaan Islam di muara Cibanten.
Berdirinya kesultanan Banten menandai kemerdekaan Banten dari dominasi Kerajaan Pajajaran. Kesultanan Banten mampu menunjukkan kekuatan politik dan ekonomi yang mapan atas seluruh perairan utara dan barat untuk menguasai jalur perniagaan seberang lautan, antara Cina di utara dan India di barat.
Banten praktis telah mengendalikan zona ekonomi maritim utara Jawa dan sekaligus Selat Sunda sejak tahun 1526 sampai 1619.

4. Era Keemasan Banten (Abad XVII)

Komunitas Banten mengalami transisi agama dari Hindu ke Islam, dan berlakunya model kehidupan perkotaan dengan jenis peradaban yang mengacu pada pranata budaya keraton Surasowan sebagai pusat politik, ekonomi, dan sosial keagamaan.
Kota Banten dengan kluster-klusternya menjadi tempat ideal bagi berkembangnya budaya kosmopolitan. Kehidupan masyarakat kota ditentukan oleh hierarki sosial sebagai suatu keharusan dalam sistem pemerintahan monarki Islam.
Dalam bidang ekonomi, Banten telah mencapai era kejayaan. Perdagangan lada menjadi tumpuan utama politik ekonomi, yang telah menarik minat berdagang dari bangsa-bangsa Eropa, Cina, India dan Nusantara untuk melakukan transaksi ekonomi.
Era keemasan Banten berlangsung antara 1619 – 1682 yang dipercepat oleh realisasi kebijakan perdagangan berorientasi lintas-benua. Otoritas Banten mampu memenangi persaingan ekonomi politik antara Banten, Mataram dan VOC sebagai tiga kekuatan seimbang di Laut Jawa. Esensi kemajuan ekonomi ditentukan oleh ekspor besar-besaran lada, impor sejumlah besar berbagai jenis wadah keramik dan produk manufaktur.
Dalam bidang politik, struktur pemerintahan menunjukkan model paling lengkap yang membagi kekuasaan ke dalam dua kelompok kepentingan, yaitu kaum birokrat yang berbasiskan keluarga raja untuk menempati pos-pos administrasi internal dan kaum teknokrat yang diberikan kewenangan melaksanakan kebijakan ekonomi dengan menempati pos-pos administrasi eksternal. Hubungan dengan pedagang asing dan hubungan diplomatik dengan Inggris, Denmark dan Perancis dipromosikan sebagai alternatif politik ekonomi kesultanan.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa ini, puncak peradaban Banten ditampakkan oleh kokohnya benteng kota, kemegahan keraton, keagungan masjid. Istana Tirtayasa yang dibangun di antara kanal-kanal antara Ciujung dan sungai Pontang telah memainkan peran penting bagi berjalannya pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan pengajaran Islam, di bawah bayang-bayang ancaman Batavia sejak 1612.

5. Banten di bawah tekanan Batavia (1682-1813)

Usai peperangan heroik antara Banten dan VOC pada tahun 1682, Banten harus berhadapan dengan perubahan radikal dalam sistem politik ekonomi, dari status independen ke dependensi pada kekuatan ekonomi Belanda berpusat di Batavia. Situasi ini berlangsung antara 1682-1811, yang dengan kekuatan persenjataan modern, hampir seluruh pesisir Banten berada di bawah kendali VOC.
Pada masa ini, Banten menjadi kurang penting dibandingkan dengan Batavia. Kesultanan Banten selama hampir dua abad telah kehilangan kedaulatan atas wilayah yang demikian luas. Pusat pemerintahan Banten mengalami perubahan ruang kota, bangunan istana, arsitektur rumah, dan juga kelangkaan aktivitas politik dan ekonomi di ibukota Banten. Tetapi pedalaman Banten menjadi alternatif penguatan budaya dan resistensi politik ekonomi.
Pada masa ini, banyak elit Banten mengalihkan kehidupan pada pendalaman ilmu agama dengan menerapkan berbagai cabang tarekat di pelosok-pelosok desa yang sulit dijangkau dan diawasi penguasa-penguasa VOC.
Dari pelosok-pelosok desa itulah, kekuatan Islam menapak untuk membangun mass solidarity menghadapi “musuh bersama”, yaitu kekuatan Belanda yang dipandang “kafir”. Islam telah menjadi stimulan kebangkitan masyarakat Banten untuk membentuk ideologi-kultural Banten.

6. Banten di bawah rejim kolonial (1813-1945)

Jatuhnya Banten (1811-1832) adalah implikasi perang Napoleon Bonaparte yang menempatkan Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal berkedudukan di Batavia. Kehancuran total Banten dimotivasi oleh politik kolonialisme bangsa-bangsa Eropa atas bangsa-bangsa Asia, untuk menguasai sumberdaya perekonomian yang strategis bagi bermulanya era industri di Eropa Barat.
Belanda membangun Residentie van Bantam yang berpusat di Serang. Gambaran fisik kehidupan kota kolonial tampak disituasikan oleh pertumbuhan kota Serang, dengan berbagai aktivitas urban sama sekali baru, lengkap dengan bangunan-bangunan pemerintahan, keagamaan dan bangunan publik seputar alun-alun kota Serang.
Tekanan politik, sosial dan budaya pemerintah kolonial yang melampaui batas telah menimbulkan resistensi tinggi orang Banten. Kesewenangan Eropa yang menimpa semua lapisan masyarakat ditanggapi dengan berbagai pemberontakan sporadis.


7. Banten di era kemerdekaan (1945-2000)

Situasi politik Banten seolah “tak bertuan”, tidak masuk dalam satuan wilayah Provinsi Pasundan Raya, juga tidak mendapat pengakuan sebagai bagian dari tanah Hindia Belanda, sehingga selama beberapa bulan (1947-1948) Banten mengalami kekosongan pemerintahan.
Banten menjadi salah satu medan pergulatan ideologi politik yang dicirikan oleh kemunculan pemimpin sentralistik yang belum mampu mengeluarkan Banten dari keterbelakangan pembangunan, ketertinggalan pendidikan, buruknya kondisi kesehatan dan kelangkaan lapangan kerja dalam satuan wilayah administratif Provinsi Jawa Barat.
Sejumlah kompleks industri memang dibangun di pesisir utara Banten, tetapi lebih disebabkan karena konsekuensi geografis, bahwa Banten dipandang kawasan strategis dari Pusat sebagai jalur ekonomi sedang tumbuh antara Sumatra dan ibukota Jakarta. Sementara pedalaman Banten masih tampak dalam tiga kondisi: keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.
Aspek demografi yang kurang mendapat perhatian, kerawanan sosial, menurunnya pendapatan, tingkat pendidikan yang rendah, perguruan tinggi tidak mencukupi menjadi indikator ketertinggalan pembangunan.

Senin, 02 Januari 2012

Historiografi tentang masa kejayaan Banten (Keraton Kaibon)






Kesultanan besar dan berpengerahuh ini berjaya dalam rentang waktu cukup lama, dari tahun 1525-1813. Selain yang tercatat dalam buku sejarah, sisa-sisa kejayaan Banten dapat pula dilihat secara fisik di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Serang, Provinsi Banten. Lokasinya sekitar 10 kilometer sebelah utara pusat kota Serang.

Situs Banten Lama memang luar biasa. Berbagai peninggalan di dalamnya mengandung gambaran banyak hal. Reruntuhan dua keraton besar, Surosowan dan Kaibon, menunjukkan tingginya pengaruh, wibawa, dan kemegahan kerajaan itu pada masanya. Selain itu, Mesjid Agung Banten yang hingga kini utuh berdiri, melambangkan suasana batin kerajaan dan masyarakatnya yang religius.

Di tempat itu terdapat kelenteng tertua di Indonesia. Hingga kini tempat ibadah penganut Kong Hu Cu masih digunakan. Hal itu juga menunjukkan toleransi hidup beragama sudah berlangsung sejak abad XVI di Banten. Pelabuhan Karangantu, menyimpan kisah kekuatan maritim dan keberhasilan ekonomi yang dibangun melalui laut. Kontak dagang dengan para saudagar luar negeri terjadi melalui pelabuhan. Persentuhan ini menjadikan Banten sebagai kota internasional. Sekaligus menggoda VOC untuk menjajah wilayah tersebut.

Sejarah juga mencatat, Keraton Surosowan yang dibangun Sultan Hasanuddin (1552-1570) dan dibenteng oleh Sultan Maulana Yusuf (1570-1580) harus mengalami kehancuran, setelah terjadi beberapa kali peperangan pada pemerintahan sultan-sultan berikutnya. Demikian pula dengan Keraton Kaibon (Keibuan) yang didirikan Sultan Syafiudin (1809-1813) untuk ibunya, Ratu Asyiah, dirusak Belanda.

We love Banten,,,